‘Kebersamaan Adalah Rahmat, Sedangkan Perpecahan Adalah Azab’

Oleh : Riki Ramadhani

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin wassholatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya’i wal mursaliin sayyidina wamaulana Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma baba’du.

Alhamdulilah .segala  puji,  syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Semesta Alam karena atas berkah, rahmat dan hidayahnya kita semua dapat berkumpul di tepat yang Insya Allah mulia ini Shalawat dan salam semoga tercurah limpahkan ke pada junjungan kita – manusia terbaik sepanjang zaman yakni besar Nabi Muhammad Saw.

Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia beraneka ragam dan berbeda-beda tingkat sosialnya. Ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang kaya, ada yang miskin, dan seterusnya. Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia dengan keahlian dan kepandaian yang berbeda-beda pula. Semua itu adalah dalam rangka saling memberi dan saling mengambil manfaat.

Orang kaya tidak dapat hidup tanpa orang miskin yang menjadi pembantunya, pegawainya, sopirnya, dan lainnya. Demikian pula, orang miskin tidak dapat hidup tanpa orang kaya yang mempekerjakan dan mengupahnya. Demikianlah seterusnya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَهُمۡ يَقۡسِمُونَ رَحۡمَتَ رَبِّكَۚ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُم مَّعِيشَتَهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَرَفَعۡنَا بَعۡضَهُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعۡضُهُم بَعۡضًا سُخۡرِيًّاۗ وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٌ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (az-Zukhruf: 32)

Allah Swt. telah menganugerahkan kepada kita manusia daya pikir dan nalar untuk memahami kehidupan bermasyarakat sendiri tidak akan terwujud dengan sempurna kecuali dengan adanya seorang pemimpin dan kebersamaan. Oleh karena itulah, Islam begitu menekankan agar kaum muslimin bersatu dalam jamaah di bawah satu penguasa. Seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti sebuah bangunan, sebagian menopang sebagian yang lain.

Abdullah bin Dinar meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhotbah di hadapan kami. Di antaranya beliau berkata,

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدُ، وَهُوَ مِنَ الْاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ، مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزِمِ الْجَمَاعَةَ، مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّأَتُهُ فَذَلِكَ الْمُؤْمِنُ

“Kalian wajib bersama dengan al-jamaah, dan berhati-hatilah kalian dari perpecahan. Sesungguhnya, setan bersama orang yang sendirian, sedangkan dari orang yang berdua, dia lebih jauh. Barang siapa yang menginginkan tengah-tengahnya (yang terbaiknya) surga, hendaklah dia bersama jamaah. Barang siapa yang kebaikan-kebaikannya menggembirakan dia dan kejelekan-kejelekannya menyusahkan dia, dia adalah seorang mukmin.”

Namun, daya pikir dan nalar itu mempunyai keterbatasan. Bila saja dalam memahami sesuatu kita Sungguh indah kebersamaan dalam jamaah. Sungguh nikmat hidup dalam keteraturan di bawah satu penguasa. Sebagaimana dikatakan, al-jama’atu rahmah wal furqatu ‘adzab (kebersamaan adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah azab). Oleh karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala melarang perpecahan dalam beberapa ayatnya.

Di antaranya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٣١ مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعًاۖ كُلُّ حِزۡبِۢ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ ٣٢

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (ar-Rum: 31—32)

Sebuah kesimpulan yang memuaskan keingintahuan kita, maka berbahagialah, meski belum tentu itu yang dimaksudkan Allah. Tetapi bilamana kita tidak kunjung menemukan sebuah kesimpulan karena keterbatasan daya pikir dan nalar kita, yakinlah Allah punya maksud sendiri tentang hakikat yang diinginkan-Nya di balik sesuatu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *